No Longer You but It’s Still You

Kulangkahkan kakiku memasuki sebuah café di pinggir jalan kota London yang sedang ramai malam itu. Model pakaian yang identik satu dengan yang lainnya, sampai model sepatu yang tipikal baik lelaki maupun wanita. Musim dingin kali ini adalah musim dingin keduaku di kota dengan Ben si Besar. Juga dengan diriku yang kedua, bukan lagi dengan diriku yang pertama. Aku berhenti di sebuah antrean panjang di depan meja kasir. Menanti sampai saatnya giliranku untuk memesan apa yang ingin aku minum dan juga yang ingin ia minum.

Kuangkat kepalaku untukmelihat berbagai macam menu kopi yang menggantung dari langit-langit. Sudah pasti dia akan memesan The Americano. Tapi, bagaimana denganku? Hot Chocolate saja, atau The Cappuccino? Sudah lama aku tidak minum hot chocolate, terutama sejak si penggemar kopi ini berada di sampingku. Ia yang akan memesankan kopi untukku tanpa meminta persetujuanku. Walau perlu kuakui, kopi yang ia pesankan untukku adalah kopi ringan yang sangat nikmat. Entah bagaimana ia memesankannya untukku sebab struknya selalu ia simpan sendiri tanpa pernah menunjukkannya kepadaku.

Good evening, may I have your order, please?” sapa seorang dengan apron café itu di belakang mesin kasir. “Yes, one The Americano and one The Cappuccino,” jawabku. “Name?” “Janet,” jawabku berbohong. Namaku akan sulit untuk dieja olehnya. Jadi agar mempercepat pemesanan, kupilih saja nama yang muncul di kepalaku. “That will be four forty pounds,” balasnya dan dengan segera kuberikan uang pas untuknya,”we will call your name when the coffees are ready, please take a seat.” Aku mengangguk pelan sembari tersenyum dan dengan santai aku berjalan ke samping dan keluar dari barisan agar orang di belakangku bisa memesan minuman mereka juga.

One hot chocolate, please,” ucap lelaki yang mengantre di belakangku. Inggrisnya tidak fasih, mungkin ia baru di sini. Tetapi, pesanannya…membuatku yakin bahwa dia adalah seorang turis. Bukan karena aku terlalu sok tahu sampai-sampai aku mendengar dan menganalisa apa yang ia pesan. Hanya saja, jarang sekali kutemukan laki-laki memesan Hot Chocolate di London. Kebanyakan dari mereka akan memesan setidaknya minuman yang memiliki unsur kopi di dalamnya. Walaupun mereka ingin hal-hal yang berbau chocolate dalam minumannya, mereka setidaknya akan memesan mocha. Dan terlebih lagi, suara dari lelaki itu sedikit membuat adrenalinku naik sehingga perutku terasa seperti ditonjok. Disertai oleh terbesitnya sebuah memori yang sudah lama aku kubur lama. Mungkinkah?

Aku memilih untuk menunggu sampai pesananku selesai dibuat baru mencari tempat duduk. Jadi aku menunggu dengan cukup sabar beberapa meter dari antrean agar aku tidak menghalangi orang lain yang telah selesai memesan. Lelaki yang berdiri di belakangku telah berjalan entah ke mana. Mungkin ia telah mendapatkan tempat duduknya sendiri, aku tidak tahu. “Apa urusan laki-laki itu denganmu, Hyena-ya?” omelku pada diriku sendiri. “Lelaki itu tidak mungkin ada di sini. Dan lelaki tadi bukanlah lelaki itu. Ja..”

Miss Janet!” teriak bartender membangunkanku dari pembicaraan interpersonalku. “Here!” jawabku spontan dan dengan segera kuambil dua gelas kopi itu dari tangan si bartender,“thank you.” Adalah sebuah keberuntungan ketika aku mendapati meja kesukaanku tidak ada yang menempati. Dengan sedikit lebih cepat aku berjalan ke arah meja itu dan duduk di kursi yang biasanya aku tempati. Kutolehkan wajahku ke arah jendela besar di sampingku sambil menggenggam secangkir kopi panas yang aku pesan tadi. Menyaksikan dengan seksama raut wajah manusia Eropa dan terkadang aku bandingkan dengan raut wajah Asiaku. Membuat benakku mengumandangkan sebuah kalimat yang selalu saja muncul saat aku memandang mereka; andai mataku juga berwarna biru dan hidungku bisa sebagus mereka.

Hey,” panggil seseorang tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Dengan segera kuikuti gerak lelaki yang baru saja memanggilku itu. Ia mencium keningku, lalu bibirku, baru kemudian duduk di kursi depanku. Sebuah gerakan biasa yang telah dilakukan selama dua bulan terakhir setiap ia bertemu denganku. “I’m so sorry I’m late, the traffic was so amazing that I will never want to ride my car to come to this street ever again,” katanya padaku dengan logat Britishnya yang sama sekali tidak bisa dihilangkan. “It’s okay, I just arrived 5 minutes ago, though,” jawabku sambil tersenyum manis ke arahnya dan dia juga membalasku dengan sebuah senyuman. Senyuman manis, namun tersimpan cukup banyak tuduhan padaku. “What? Why are you looking at me like that?” tanyaku sambil tertawa. “You sure you just arrived 5 minutes ago?” tanyanya tanpa menghilangkan senyuman yang sama,”our coffee indicates you’ve been here for more than 15 minutes. Remember, this is winter. Any hot beverages will get cold faster than usual.” Lagi-lagi ia mengeluarkan kalimat analitisnya padaku. Kalimat skak-mat untuk kebohonganku. “Alright, you got me. I have been here since 30 minutes ago,” ucapku pasrah dan kuhela nafasku, wujud penyesalan. “Your lips may say lie but your eyes never do,” ucapnya sembari menggenggam tanganku erat dan mengusapnya dengan ibu jarinya. Sebuah kalimat yang secara tidak sadar membuatku merasakan kupu-kupu terbang di dalam perutku.

Now, bisakah kita gunakan bahasaku saja?” tanyaku to the point dan dia kembali tertawa di hadapanku. “Apanya yang lucu?” tanyaku lagi ketika dia tidak berhenti tertawa. “Nothing, uh… Tidak ada,” jawabnya dengan bibir yang ditahan untuk tidak terbuka lebar seperti tadi,”transisimu sangat mulus, Hyena-ya.” Dan aku tahu ia menyindirku dengan menggunakan kata ‘mulus’nya itu. “Bukannya aku tidak bisa berbahasa Inggris yang merupakan mother tonguemu, bodoh. Tetapi kau juga memiliki darah dari negara yang sama denganku,” protesku sesaat setelah kupukul tangannya. “Arasseo, yeppeun ahgassi,” ucapnya dengan penekanan di setiap suku kata. Menjadikan ini giliranku untuk menutup bibirku rapat-rapat menahan tawa yang pada akhirnya keluar juga. “It’s always been my happiest moment to see you laugh, baby,” gumamnya dan untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari satu jam, ia membuat kupu-kupu dalam perutku bertambah dua kali, berikut dengan pipiku yang terasa panas di udara dingin kota London. “Akan kuberikan tawaku setiap hari untukmu kalau begitu, Siwon-ah…”

because now you are the one who own me and my heart as well.

“Kau tidak meminum kopimu?” tanyanya setelah beberapa saat kami berdua terdiam. “Aku lihat daritadi kau hanya menggenggamnya saja tanpa sekalipun meminumnya?”

“Ah, bukan itu. Kopinya terlalu menusuk…”

“Lain kali tunggu aku kalau kau ingin memesan kopi, okay? Biar aku saja yang memesankannya untukmu,” selanya dan dengan segera ia bangkit berdiri menuju antrean yang semakin panjang itu. Melesat dengan cepat sebelum aku berhasil menahannya untuk tetap duduk di hadapanku dan menemaniku. Entah ada sebuah perasaan aneh yang menggangguku sejak aku selesai memesan kopi. Sebuah perasaan yang membuatku ketakutan. Ketakutan jika akan ada orang yang meninggalkanku. Lagi.

Tanpa berpikir panjang, kuambil gelas Americanonya dan aku berlari ke arahnya yang dengan tenang mengantre di deretan belakang. “H-Hyena? Why?” tanyanya terkejut ketika ia melihatku sedikit berlari ke arahnya dan ketika kupeluk pinggangnya erat. “I just wanna go home, please?” tanyaku dan kuangkat kepalaku agar aku bisa melihatnya tepat di manik matanya. “But your coff…” “Just go home, Siwon-ah, aku mohon.” Bisa kurasakan jarinya yang hangat menggenggam pipiku dan ibu jarinya mengusap mataku pelan. “Let’s go home,” ucapnya pelan dan lembut sambil mencium keningku. Kemudian ia merangkul pinggangku dan dia menuntunku menuju tempat ia memarkirkan mobilnya.

Tidak sekalipun aku longgarkan rangkulanku di pinggangnya, begitupun dengannya yang tidak pernah melonggarkan rangkulannya di pundakku. “Tell me what happened, will you?” tanyanya pelan meminta persetujuan dariku sambil membukakan pintu untukku. Aku menggeleng pelan sebelum aku memasuki mobilnya dan entah sejak kapan air mata ini mengalir. Tepat sedetik kemudian bisa kurasakan sebuah pelukan hangat menyelimutiku dengan jemarinya menahan kepalaku di dadanya. Membuatku memeluk pinggangnya erat dan menangis tersedu-sedu saat itu juga.

“Aku takut, Siwon-ah,” ucapku tanpa sadar dan kugenggam jasnya lebih erat lagi,”aku takut aku akan kehilangan orang yang aku cintai lagi. Entah kenapa aku takut saat kau berjalan meninggalkanku tadi. Aku takut kau tidak akan kembali membawakanku kopi kesukaanku yang biasanya kau pesankan untukku dan aku takut aku tidak bisa memelukmu lagi seperti ini. Aku takut, sangat takut…”

“Berapa kali harus kukatakan bahwa kau tidak perlu takut akan hal seperti itu, sayang?” tanyanya sambil mengelus pelan rambutku. “Berapa kali harus kukatakan bahwa kau selalu bisa mempercayaiku? Berapa kali harus kukatakan bahwa aku mencintaimu dan aku tidak akan meninggalkanmu?”

Just… promise me you will never go and you will never let me go,” selaku tanpa mengerti apa yang ia ucapkan.

I promise you that I won’t go, and I will never let you go from my side…” Ia mengucapkannya dengan sangat lembut dan bisa kudengar kesungguhannya saat ia mengucapkannya,“Because you know I will never be able to live a second of my life without my oxygen near me.” Dan aku kembali menangis saat ia mengucapkannya.

“Jangan menangis lagi, kumohon. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri kalau aku terus-terusan melihatmu menangis seperti ini, Hyena-ya. Kumohon, percayalah padaku. Aku akan selalu ada di sampingmu dan aku tidak akan pernah membiarkanmu jauh dari sisiku. Kau bisa memegang kata-kataku. Aku mencintaimu…” Pelukannya masih belum terlepaskan demikian dengan sentuhan bibirnya di puncak kepalaku. “Sudah, it’s okay, baby. Everything is going to be alright.”

Dan aku hanya bisa mengangguk pelan dalam dekapannya yang hangat itu. Menenangkan diriku sendiri dan akhirnya menerima sebuah ciuman hangat saat aku menengadahkan kepalaku. Aku mencintainya. Aku telah mencintainya dan aku akan terus mencintainya. Lelaki di depanku yang menerimaku dengan segala kerapuhanku dan ketakutanku. Menerimaku sebagaimana aku, menyembuhkanku menjadi aku.

…It’s no longer that guy—it’s no longer you.

~~~Meanwhile

Aku tidak mungkin salah mengenali wangi parfum dari wanita yang berdiri di depanku tadi. Dengan postur tubuhnya yang sangat mirip—tidak, postur tubuh itu hanya dimiliki olehnya. Rambutnya yang bergelombang dan jas berwarna cokelat muda kesukaannya. Aku tidak mungkin salah, dia adalah Hyena, Chae Hyena. Seorang kekasih yang sekarang hanya menjadi orang asing. Setelah setengah tahun aku tidak pernah bertemu dengannya, akhirnya aku bertemu dengannya lagi di tempat yang sama seperti tahun lalu kami merayakan malam anniversary kami. Dua gelas hot chocolate di meja kedua yang berada persis di sebelah jendela.

Awalnya aku merasa ragu sebab dia tidak memesan hot chocolate, minuman yang paling ia sukai. Tetapi kebiasaannya untuk menunggu pesanan baru setelah itu mencari tempat duduk membuatku dengan yakin mengatakan bahwa ia adalah Hyena. Terlebih lagi wajah bahagianya ketika ia mendapatkan tempat yang dahulu merupakan tempat kami berdua. Adakah bukti yang meragukan keyakinanku ini?

Tetapi tiba-tiba saja seorang laki-laki datang dari arah belakangku menuju mejanya dan dengan santai lelaki itu mencium keningnya dan juga bibirnya. Menyadarkanku bahwa ia telah benar-benar pergi dariku dan tidak mungkin ia akan kembali padaku. Gadis itu telah menjadi wanita. Gadis yang seharusnya milikku, telah menjadi wanita dari lelaki itu.

“Kopinya terlalu menusuk,” ucap Hyena dan aku hanya bisa memandangnya dari balik kekasihnya itu. Dia yang tidak pernah menyukai kopi tiba-tiba saja memesan kopi untuk dirinya, tetapi kopinya terlalu kental untuknya.

“Biar aku saja yang memesankannya untukmu,” kali ini lelaki itu yang berucap dan dengan segera ia bangkit berdiri meninggalkan wanita yang hanya tertegun melihat kekasihnya berjalan meninggalkan meja itu. Wajah yang menyiratkan luka dalam yang kembali terbuka. Wajah yang ia tunjukkan ketika aku berjalan meninggalkan meja itu pada malam itu. Malam saat aku bersembunyi darinya setelah aku mengatakan aku memilih untuk berjalan sendiri. Malam saat aku melihatnya terdiam dan tertunduk dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. Malam aku menyakitinya. Malam aku mengingkari janjiku padanya.

Dalam sekejap, Hyena sudah berlari meninggalkan meja itu dengan gelas milik lelaki itu di tangannya. Berlari menuju tempat lelaki itu berdiri, memeluknya di hadapan semua orang, sampai akhirnya mereka meninggalkan café ini. Kejadian yang membuatku tersadarkan dari apa yang aku pikirkan selama ini. Dia, tidak mungkin kembali lagi.

Aku bertemu lagi dengannya setelah sekian lama. Kuharapkan ia masih sendiri tetapi tidak, ia sudah memiliki. Dengan santainya ia memeluk lelaki itu dan berjalan keluar dari café yang dulunya tempat favorit kami berdua. Dan setelah sekian lama aku meyakinkan diriku bahwa kau baik-baik saja tanpanya, kusadari bahwa sebenarnya aku tidak baik-baik saja tanpanya. Melihatnya memiliki seorang pengganti, membuat rasa sakit itu bertambah parah. Jadi inikah rasanya tergantikan? Andai saja ia tahu, andai saja gadisku itu tahu. Even until now, it’s still her—it’s still you…

 

 

lol, its been a long time! hahaha. lama sekali aku tidak pernah menyentuh blog ini lagi. akhirnya memutuskan untuk kembali. dengan bahasa yang acakadut. hiks. maaf ya, lamaaa sekali tidak pernah tulis menulis seperti ini lagi. huhu.. anyway, cerita ini inspired dari lagu-susah-move-on-nya eunhae. Nice song, gotta admit it. haha. they made the best collaboration ever, in my opinion. haha. Sedikit memiliki unsur “saya” di dalam cerita ini. Semoga kalian menikmatinya. Doom Dada Dibida! 🙂

with love, devinardelia

2 thoughts on “No Longer You but It’s Still You

  1. ini apaaa kak Dev… ini apaaaaaa ㅠㅠ kenapa jadi…. mereka berdua…. pisah beneran… ada lanjutannya lagi kaaan kak Dev?. Aaacidaaaak ㅠㅠ. tapi tapi feel nya aku kerasa sekaliii… 대박 .파이팅 ‘-‘)/\(‘-‘

Leave a trace and comments here! XD